Sirin
berhasrat menyempurnakan separuh dari agamanya dengan menikah setelah
Anas bin Malik r.a. membebaskannya dari belenggu perbbudakan dan setelah
pekerjaannya mendatangkan banyak keuntungan, karena dia memang seorang
ahli membuat periuk.
Jatuhlah pilihannya pada budak wanita Abu Bakar Ash-Shiddiq yang
bernama Shafiyah untuk dijadikan pendamping hidupnya. Shafiyah adalah
seorang gadis muda yang cerah wajahnya, baik hatinya. Pandai dan sangat
disayangi penduduk Madinah yang mengenalnya. Gadis-gadis remaja dan
orang-orang tua yang melihatnya memiliki pandangan yang sama bahwa dia
adalah seorang wanita yagn berpikiran cemerlang dan berbudi luhur. Yang
paling menyayangi beliau adalah istri-istri Rasulullah saw., terutama
ummul mukminin Aisyah r.a.
Pada hari yang telah direncanakan, Sirin menghadap khalifah
Rasulullah saw, Abu Bakar Ash-Shidiq untuk meminang Shafiyah. Abu Bakar
segera menyelidiki hal ihwal si peminang seperti layaknya seorang ayah
manakala putrinya hendak dipinang orang.
Tidak aneh, karena kedudukan Shafiyah bagi Abu Bakar laksana putri
bagi ayahnya, disamping ia adalah amanat yang dititipkan Allah
kepadanya. Oleh karena itu beliau meneliti keadaan Sirin dengan cermat
dan mempelejari kehidupannya dengan hati-hati. Di antara yang dimintai
keterangan tentangnya adalah Anas bin Malik r.a. Ketika ditanya, Anas
menjawab, “Nikahkan lah ia dengan budakmu wahai amirul mukminin, dan
janganlah engkau mengkhawatirkan keadaannya, saya tidak mengenalnya
melainkan bahwa dia adalah seorang yang bagus agamanya, bagus akhlaknya
dan menjaga kehormatannya. Aku telah menjalin hubungan dengannya
semenjak menjadi tawanan Khalid bin Walid bersama empat puluh budak lain
yang masih kecil-kecil. Setelah dibawa ke Madinah, Sirin menjadi
bagianku dan aku sangat beruntung mendapatkan dia.”
Akhirnya Abu Bakar Ash-Shidiq merestui pernikahan antara Shafiyah
dengan Sirin. Maka diselenggarakanlah walimah pernikahan seperti halnya
walimah untuk putrinya sendiri. Suatu hal yang sangat jarang dinikmati
oleh budak atau pembantu wanita lainnya di Madinah.
Pernikahan itu disaksikan oleh banyak sahabat utama, di antaranya
terdapat 18 sahabat yang ikut perang Badar. Ubai bin Ka’ab penulis wahyu
Rasulullah saw. diminta untuk mendo’akannya sementara hadirin
mengamininya.
Pengantin wanita dirias oleh tiga dari ummahatul mukminin untuk
suaminya. Di antara buah dari pernikahan itu lahir seorang bayi yang dua
puluh tahun kemudian menjadi satu di antara ulama yang tersohor. Dialah
Muhammad bin Sirin. Marilah kita ikuti lembaran hidup tabi’in utama ini
dari awal.
Muhammad bin Sirin lahir dua tahun sebelum berakhirnya khilafah
Utsman bin Affan r.a. dan tumbuh besar di suatu rumah yang dipenuhi
semerbak wewangian takwa dan wara’ di setiap sudutnya.
Memasuki usia remaja, anak itu mendapati masjid Rasulullah penuh
dengan para sahabat dan tokoh tabi’in seperti Zaid bin Tsabit, Anas bin
Malik, Imron bin Hushain, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Abbas,
Abdullah bin Zubair dan Abu Hurairah.
Betapa antusias beliau menyambut mereka seperti layaknya orang
kehausan yang menemukan air yang jernih. Diserapnya dari mereka
ilmu-ilmu dari Kitabullah, didalaminya masalah fiqih dan riwayat-riwayat
hadits Rasulullah saw. Otaknya makin subur dan penuh dengan hikmah dan
ilmu, jiwanya makin kaya akan kebaikan dan hidayah.
Kemudian berpindahlah keluarga beserta remaja yang brilian ini ke Bashrah dan menjadikannya sebagai tempat untuk menetap.
Ketika itu, Bashrah termasuk kota Baru yang dibangun kaum muslimin
pada akhir masa khalifah Al-Faruq Umar bin Khathab r.a. Kota tersebut
merupakan kota yang istimewa bagi umat Islam pada masa itu, yaitu
sebagai basis bagi pasukan muslimin untuk berperang di jalan Allah,
sebagai pusat pengajaran dan pembinaan bagi penduduk Irak dan Persia
yang baru memeluk Islam dan merupakan cermin masyarakat Islam yang giat
berusaha untuk dunia seakan hidup selamanya dan beramal untuk akhirat
seakan hendak mati keesokan harinya.
Muhammad bin Sirin menjalani lembaran hidup yang baru di Bashrah
dengan proporsional. Sebagian dari harinya digunakan untuk mencari ilmu
dan ibadah, sebagian lagi untuk mata pencaharian dan berdagang.
Telah menjadi kebiasaan beliau, ketika matahari terbit, beliau
berangkat ke masjid Bashrah untuk mengajar sambil belajar. Bila matahari
mulai tinggi, beliau keluar menuju pasar untuk berdagang. Bila malam
menjelang, beliau tekun di mihrab rumahnya, menghayati Al-Qur’an dengan
sepenuh jiwa sampai menangis karena takutnya kepada Allah. Sampai-sampai
keluarga dan sahabat-sahabat karibnya merasa iba mendengar tangisannya
yang menyayat hati.
Setiap kali beliau ke pasar di siang hari, tak bosan-bosannya beliau
mengingatkan manusia akan kehidupan akhirat dan menjelaskan akan hakikat
dunia. Beliau memberikan bimbingan kepada mereka tentang cara
mendekatkan diri kepada Allah. Beliaulah yang selalu menjadi penengah
bila terjadi sengketa atau keributan di antara mereka. Terkadang beliau
menghibur dengan cerita-cerita yang menghibur hati yang gundah dan lelah
tanpa menjatuhkan wibawanya di hadapan para sahabatnya.
Allah telah menganugerahkan kemuliaan kepada beliau, sehingga mudah
mengambil hati orang dan diterima oleh semua kalangan. Bahkan bila
seseorang sedang lupa diri segera sadar begitu melihat Ibnu Sirin di
pasar, mereka ingat kepada Allah, kemudian bertahlil serta bertakbir.
Perjalanan hidup beliau adalah panduan hidup yang sangat bagus bagi
manusia. Setiap kali mendapatkan persoalan dalam dagangannya, beliau
memilih yang lebih selamat bagi tinjauan agama walau terkadang beliau
harus rugu secara materi untuk itu.
Beliau memiliki pemahaman yang detail tentang agama, wawasan yang
tajam untuk membedakan mana yang halal dan mana yang tidak. Adakalanya
sikap beliau mengundang keheranan bagi sebahagian orang.
Pernah ada orang yang berdusta dengan mengatakan bahwa Ibnu Sirin
berhutang dua dirham kepadanya. Beliau bersikeras tidak mau
membayarnya, lalu orang itu menantang, “Engkau berani bersumpah?” orang
itu mengira beliau tak akan bersumpah untuk itu, namun tenryata beliau
menyanggupi dan ia bersumpah. Orang-orang berkata, “Wahai Abu Bakri,
mengapa engkau rela bersumpah hanya karena uang dua dirham saja, padahal
tempo hari Anda abaikan harta sebesar 40.000 dirham karena engkau
meragukannya sedangkan tidak ada orang yang meragukan kejujuranmu.”
Beliau menjawab, “Aku bersumpah karena tidak ingin jika dia makan harta
yang haram, sedangkan aku tahu bahwa uang itu benar-benar haram
baginya.”
Majlis Ibnu Sirin adalah majlis kebaikan, kebaktian dan nasihat. Jika
orang menyebutkan keburukan orang lain di depannya, beliau bersegera
mengingatkan kebaikan orang itu sepanjang pengetahuannya.
Bahkan pernah beliau mendengar seseorang mamaki Hajjaj bin Yusuf
setelah matinya, beliau mendekati orang itu dan berkata, “Tahanlah wahai
putra saudaraku, Hajjaj sudah kembali ke sisi Rabb-nya. Saat engkau
datang kepada Rabb-mu, akan kau dapati bahwa bahwa dosa terkecil yang
kau lakukan di dunia lebih kau sesali daripada dosa yang dilakukan
Hajjaj. Masing-masing dari kalian akan bertanggung jawab terhadap
dirinya sendiri.”
Ketahuilah wahai putra saudaraku, Allah akan menuntut Hajjaj atas
kezhalimannya terhadap orang-orang, namun Allah juga akan menuntut
orang-orang yang menzhalimi Hajjaj. Maka janganlah engkau sibukkan
dirimu untuk memaki dan mencela orang sesudah ini.”
Sudah menjadi kebiasaan jika ada orang yang berpamitan kepada beliau
untuk pergi berdagang belia berpesan, “Wahai putra saudaraku,
bertakwalah kepada Allah dan carilah apa yang ditakdirkan untukmu dari
jalan yang halal. Ketahuilah, kalaupun engkau mencari jalan yang tidak
halal, toh engkau tidak akan memperoleh kecuali apa yang tidak
ditakdirkan untukmu.”
Kalimat yang benar senantiasa ditegakkan Muhammad bin Sirin di
hadapan para penguasa Bani Umayah. Beliau secara tulus mewujudkan
nasihat bagi Allah, Rasul dan imam-imam kaum muslimin.
Sebagai bukti dari kesimpulan di atas adalah, ketika Umar bin
Hubairah Al-Farazi yang diangkat menjadi gubernur Irak, pernah meminta
Ibnu Sirin menemuinya, lalu beliau datang bersama saudaranya. Sang wali
menyambutnya dengan penuh hormat kemudian bertanya banyak tentang agama
dan dunia. Dia berkata, “Dalam kondisi seperti apa Anda akan tinggalkan
kota Bashrah, wahai Abu Bakri?” beliau berkata, “Akan aku tinggalkan
kota dimana kezhaliman telah merajalela sedangkan Anda tidak
menghiraukannya.” Saudaranya mencubit kaki Ibnu Sirin demi mendengar
jawaban seperti itu, tapi beliau menoleh kepadanya, “Bukan engkau yang
ditanya, melainkan aku. Ini adalah kesaksian, ‘Dan barangsiapa yang menyembunyikannya maka sesungguhnya ia adalah orang yang berdosa hatinya.’ (Al-Baqarah: 253).”
Usai pertemuannya, beliau dilepas kepergiannya seperti sambutan
ketika datangnya, dengan penuh santun dan rasa hormat. Lalu
dihadiahkanlah sekantong uang berisi 3000 dirham dari kas negara, tapi
sama sekali tak disentuhnya. Bertanyalah anak saudaranya, “Apa yang
menghalangimu untuk menerima hadiah dari amir itu?” Beliau berkata, “Dia
memberi karena mengira aku orang baik. Bila benar aku orang baik, tidak
pantas aku mengambil uang itu. Namun jika aku tidak seperti yang dia
duga, tentu lebih layak lagi untuk tidak mengambilnya…”
Allah berkehendak menguji ketulusan dan kesabaran Muhammad bin Sirin
berupa cobaan seperti yang telah menimpa orang-orang mukmin lain.
Satu contoh dari ujian tersebut adalah peristiwa dimana beliau
membeli minyak seharga 40.000 dirham sebanya satu bejana penuh dibayar
belakangan. Ketika diperiksa ternyata ada bangkai tikus yang sudah
membusuh di dalamnya. Dia pikir, “Minyak ini ditampung dalam satu wadah
dan najisnya tidak hanya di sekitar bangkai itu. Jika aku kembalikan
kepada penjualnya, pasti akan dijual kepada orang lain.” Maka dibuangnya
semua minyak di bejana tersebut. Ini terjadi di saat perniagaannya rugi
cukup besar. Akhirnya beliau terbelit hutang, pemilik minyak menagih
hutangnya sedangkan beliau tak mampu membayarnya, lalu orang itu
mengadukan persoalan tesebut kepada yang berwenang. Akhirnya
diperintahkan beliau dipenjara sampai bisa mengembalikan hutangnya.
Cukup lama beliau dipenjara, hingga penjaga merasa kasihan karena
mengetahui keteguhan agama dan ketakwaannya dalam ibadah. Dia berkata,
“Wahai Syaikh, pulanglah kepada keluarga bila malam tiba dan kembalilah
kemari pada pagi harinya. Anda bisa melakukan itu sampai Anda bebas
nanti.’ Beliau menolak, “Tidak, demi Allah aku tidak akan melakukan
itu.” Penjaga berkata, “Mengapa?” Beliau menjawab, “Agar aku tidak
membantumu mengkhianati pemerintah.”
Ketika Anas bin Malik sakit keras, beliau berwasiat agar yang
memandikan jenazahnya kelak Muhammad bin Sirin, sekaligus
menshalatkannya. Tapi Ibnu sirin masih berada dalam tahanan.
Hari dimana Anas wafat, orang-orang mendatangi wali dan menceritakan
tentang wasiat sahabat Rasulullah saw. dan memohonkan izin untuk
Muhammad bin Sirin agar bisa melaksanakan wasiatnya. Namun beliau
berkata, “Aku tidak akan keluar kecuali jika kalian mengijinkan aku
kepada orang yang aku hutangi, bukankah aku ditahan karena belum mampu
membayar hutangnya?”
Orang yang dihutangi pun memberikan izin sehingga ia bisa keluar dari
tahanannya. Setelah selesai memandikan, mengkafani dan menshalatkan
jenazah Anas r.a, beliau langsung kembali lagi ke penjara tanpa
sedikitpun mengambil kesempatan untuk mampir menengok keluarganya.
Usia Muhammad bin Sirin mencapai 77 tahun. Dalam wafatnya didapati
bahwa beliau ringan dari beban dunia dan penuh pembekalan untuk hidup
setelah mati. Hafshah binti Rasyid yang dikenal sebagai ahli ibadah
bercerita, “Marwan Al-Mahmali adalah tetangga kami yang rajin beribadah
dan tekun melaksanakan ketaatan-ketaatan. Tatkala beliau meninggal kami
bersedih, lalu aku melihatnya di dalam mimpi dan aku bertanya kepadanya,
“Wahai Abu Abdillah, apa yang dilakukan Rabb-mu di terhadapmu?” Dia
menjawab, “Allah memasukkan aku ke dalam surga.” Aku katakan, “Kemudian
apa?” Dia menjawab, “Kemudian aku diangkat ke derajat ashhabul yamin.”
Aku bertanya, “Lalu apa lagi?” Dia menjawab, “Lalu aku diangkat ke
derajat muqarrabin.” Aku bertanya, “Siapa yang kamu lihat di sana?” Ia
menjawab, “Aku melihat Al-Hasan Al-Bashri dan Muhammad bin Sirin.”
Mereka Adalah Para Tabi’in - Pustaka At-Tibyan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment